Koneksi Antar Materi - Kesimpulan dan Refleksi Modul 1.1

FILOSOFI PENDIDIKAN KI HAJAR DEWANTARA SEBAGAI LANDASAN TRANSFORMASI PENDIDIKAN YANG BERPUSAT PADA ANAK

Ki Hajar Dewantara atau dengan nama asli Raden mas Soewardi Soerjaningrat merupakan tokoh pendidikan Indonesia. Beliau merupakan menteri pendidikan pertama di Indonesia yang kala itu disebut sebagai menteri pengadjaran. Beliau lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889 dimana tanggal lahirnya ditetapkan sebagai hari pendidikan Indonesia. Pemikiranya terhadap pendidikan dan pengajaran amat sangat dipegang teguh oleh kita sebagai pendidik. Berikut merupakan beberapa pemikiran Ki hajar Dewantara dalam konteks pendidikan dan pengajaran.

Ki Hajar Dewantara mengungkapkan bahwa “Sekolah merupakan tempat persemaian benih-benih”. Pada analogi ini, siswa diibaratkan sepeti benih-benih yang siap akan kita garap yang diharapkan kelak tumbuh dan menuai nilai-nilai positif yang kita harapkan. Seorang pendidik layaknya seorang petani yang selalu mengenali benihnya, memperhatikan, merawat dan memberikan kesuburan pada benihnya sebagaimana seorang pendidik yang mengenali bakat dan potensi anak, memperhatikan pertumbuhan dan perkembanganya dan memberikan nilai-nilai budi pekerti yang luhur kepada peserta didiknya. Oleh sebab itu, menjadi seorang pendidik perlu memiliki ilmu dan strategi yang baik dalam mendidik peserta didiknya sebagaimana seorang petani yang mengetahui ilmu menanam benih. Jangan sampai ketika kita menanam benih padi menggunakan cara menanam ilmu jagung ataupun sebaliknya. Begitu juga dengan seorang pendidik yang menerapkan strategi pembelajaran yang baik sesuai dengan passion siswanya.

Tujuan dari sebuah pendidikan menurut KHD adalah menumbuhkan budi pekerti yang baik. Budi yang terdiri dari olah cipta, olah karsa dan olah rasa. Sedangkan pekerti terdiri dari olah raga (tenaga). Untuk itu, seorang pendidik hendaknya “menuntun” peserta didiknya agar mempunyai nilai-nilai budi pekerti yang baik. Oleh sebab itu, seorang pendidik tidak hanya menuntun pada aspek kognitifnya saja, tetapi juga pada aspek psikomotor dan afektifnya agar tumbuh nilai-nilai budi pekerti yang baik yang pada akhirnya hal tersebut akan terejawantahkan di dalam kehidupan nyata (bermasyarakat). Kesenian seperti tari, pencak silat, menyanyi, membuat masakan khas yang menjungjung tinggi kearifan local dalam konteks sosiokultural juga termasuk penanaman nilai-nilai budi pekerti yang ada di sekolah.

Salah satu contoh penanaman budi pekerti yang baik yang sudah diterapkan di SMAN 1 Tirtayasa misalnya program literasi Al-Qur’an sebelum kegiatan KBM dimulai. Kegiatan tersebut bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai spiritual, moril, dan kedisiplinan siswa. Sehingga, ketika aspek spiritual, moril dan kedisiplinan sudah melekat maka nilai-nilai kognitif, psikomotor dan afektif akan mengikuti. Kedisiplinan masih menjadi masalah utama, banyak siswa yang datang terlambat di sekolah. Namun dengan adanya program literasi Al-Qur’an di pagi hari yang dilakukan bersama-sama di lapangan sekolah sebelum KBM dimulai, tingkat keterlambatan siswa semakin berkurang. Selain itu, hal tersebut juga menjadi pembiasaan dan melatih siswa membaca Al-Qur’an dengan baik. Sehingga pada akhirnya nilai-nilai tersebut akan tertanam pada diri siswa dalam konteks kehidupan nyata.



Selain itu, sebagai Pembina ROHIS penulis menyusun program-program yang digerkan oleh sebuah organisasi intrakurikuler bernama RISMA. RISMA merupakan kepanjangan dari Remaja Islam Masjid Al-Ihsan merupakan organisasi yang bergerak di bidang dakwah dan seni islami. Beberapa program yang telah berjalan meliputi literasi Al-Qur’an sebelum KBM, jadwal khutbah jum’at, kesenian hadroh, tilawah, kaligrafi, tahfidz Al-Qur’an, pesantren kilat ramadhan dan kegiatan Perayaan Hari Besar Islam (PHBI) seperti mauled Nabi Muhammad SAW, Isra’ Mi’raj dan lain sebagainya.





Selanjutnya, Ki Hajar Dewantara mengungkapkan bahwa pendidikan harus memperhatikan kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam mempunyai makna bahwa seorang pendidik harus mampu mengenali peserta didiknya seperti latar belakangnya, dimana dia berasal, usia, karakter dan sebagainya sehingga kita mampu mengenali passion dan kebutuhan peserta didik. Sedangkan kodrat zaman mempunyai makna bahwa pendidikan harus bergerak statis dan tidak boleh stagnan yang mana hal tersebut digerakan oleh kondisi zaman. Tidak sama kebutuhan dan cara pengajaran peserta didik dahulu dengan zaman sekarang dimana pendidikan zaman sekarang terus didorong oleh pengajaran berbasis TPACK yang mendukung terhadap pembelajaran siswa.

Diantara kodrat alam yang dimiliki oleh sang anak adalah “bermain”. Oleh sebab itu, permainan dalam pengajaran di kelas merupakan salah satu langkah efektif pembelajaran agar kegiatan pembelajaran menjadi lebih menyenangkan. Ki Hajar Dewantara merumuskan tahapan pembelajaran pada anak yang dikenal dengan istilah bukan tabula rasa. Hal ini perlu diperhatikan oleh sang pendidik sehingga seorang pendidik akan mengenali karakter peserta didiknya dalam menebalkan laku anak dengan kekuatan konteks diri pada anak. Pertama, pada tahap anak usia 0-8 tahun, anak berada di tahap Wiraga dimana usia ini menekankan pada tahap eksplorasi pengalaman (raga, indra, imaginasi). Anak belum mampu mengenali teks dan lebih senang bermain, bergerak dan mendengarkan cerita. Kedua, pada tahap anak usia 8-16 tahun, anak berada pada fase Wiraga-Wirama 1. Di tahap ini, anak baru mengenal dan menguasai teks. Mereka dapat mengenali riset/project dalam durasi pendek. Ketiga, pada tahap anak usia 8-16 tahun, anak berada di fase Wiraga-Wirama 2. Di tahap ini, Anak dapat memperdalam dan memperluas pemahaman konteks. Mereka sudah memiliki keterampilan bertanya, dan durasi pembelajaran mandiri ataupun kolaborasinya semakin panjang. Keempat, pada tahap anak usia 16-24 tahun, anak berada di fase Wirama. Di tahap ini, anak memulai pencarian jati dirinya dan sudah menentukan pilihan hidup/passionnya.

Dalam mengimplementasikan pendidikan dan pengajaran, Ki Hajar Dewantara merumuskan bahwa pendidikan hendaknya “menghamba pada anak”. Hal ini dimaksudkan bahwa pendidikan haruslah beroirentasi/berpusat pada siswa (student center). Segala bentuk pengjaran yang diberikan adalah untuk perkembangan siswa.

Selanjutnya, Ki Hajar Dewantara merumuskan semboyan dalam pendidikan yaitu “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”. Semboyan tersebut memiliki arti bahwa “ing ngarso sung tulodo”, guru hendaknya menjadi teladan bagi siswa, “ing madyo mangun karso” yang menjadi penyemangat bagi siswa, dan “tut wuri handayani” yang menjadi pendorong bagi para siswanya.

Setelah mempelajari filosofi Ki Hajar Dewantara terhadap pendidikan, penulis banyak mendapatkan pengetahuan dan pengalaman baru. Selama ini, penulis menganggap bahwa keberhasilan suatu pendidikan hanya dapat diukur pada aspek kognitifnya saja tetapi setelah mempelajari filosofi Ki Hajar Dewantara terhadap pendidikan, penulis mendapatkan pengetahuan bahwa tujuan dari pendidikan menjadi lebih luas lagi yaitu menumbuhkan budi pekerti. Budi pekerti tidak hanya dilihat dari aspek kognitifnya tetapi juga nilai-nilai moril, spirituil, bakat, berbudaya, dan berkearifan adalah termasuk dianatara budi pekerti yang harus dipenuhi. Sehingga pada akhirnya anak-anak akan mencapai “merdeka dalam belajar”. Mereka betul-betul pergi ke sekolah dengan hati yang senang sebagaimana seperti “taman bermain” bagi mereka. Mereka dapat mengasah pengetahuan, bakat dan minatnya di sekolah.

Oleh :
Ues Athoillah, M.Pd.
CGP Angkatan 11 Tahun 2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Teks Khutbatul Wada'

LIBURAN DATANG, SMAN 1 TIRTAYASA MELANCONG KE YOGYAKARTA